Saturday, December 3, 2011

CA CERVIX


Kanker Leher Rahim


Kanker Leher Rahim (Kanker Serviks) adalah tumor ganas yang tumbuh di dalam leher rahim/serviks (bagian terendah dari rahim yang menempel pada puncak vagina.

Kanker serviks biasanya menyerang wanita berusia 35-55 tahun.
90% dari kanker serviks berasal dari sel skuamosa yang melapisi serviks dan 10% sisanya berasal dari sel kelenjar penghasil lendir pada saluran servikal yang menuju ke dalam rahim.


Kanker serviks terjadi jika sel-sel serviks menjadi abnormal dan membelah secara tak terkendali.
Jika sel serviks terus membelah maka akan terbentuk suatu massa jaringan yang disebut tumor yang bisa bersifat jinak atau ganas. Jika tumor tersebut ganas, maka keadaannya disebut kanker serviks.

Penyebab terjadinya kelainan pada sel-sel serviks tidak diketahui secara pasti, tetapi terdapat beberapa faktor resiko yang berpengaruh terhadap terjadinya kanker serviks:
  1. HPV (human papillomavirus)
    HPV adalah virus penyebab kutil genitalis (kondiloma akuminata) yang ditularkan melalui hubungan seksual. Varian yang sangat berbahaya adalah HPV tipe 16, 18, 45 dan 56.
  2. Merokok
    Tembakau merusak sistem kekebalan dan mempengaruhi kemampuan tubuh untuk melawan infeksi HPV pada serviks.
  3. Hubungan seksual pertama dilakukan pada usia dini
  4. Berganti-ganti pasangan seksual
  5. Suami/pasangan seksualnya melakukan hubungan seksual pertama pada usia di bawah 18 tahun, berganti-ganti pasangan dan pernah menikah dengan wanita yang menderita kanker serviks
  6. Pemakaian DES (dietilstilbestrol) pada wanita hamil untuk mencegah keguguran (banyak digunakan pada tahun 1940-1970)
  7. Gangguan sistem kekebalan
  8. Pemakaian pil KB
  9. Infeksi herpes genitalis atau infeksi klamidia menahun
  10. Golongan ekonomi lemah (karena tidak mampu melakukan Pap smear secara rutin)

Keadaan Prekanker Pada Serviks

Sel-sel pada permukaan serviks kadang tampak abnormal tetapi tidak ganas.
Para ilmuwan yakin bahwa beberapa perubahan abnormal pada sel-sel serviks merupakan langkah awal dari serangkaian perubahan yang berjalan lambat, yang beberapa tahun kemudian bisa menyebabkan kanker.
Karena itu beberapa perubahan abnormal merupakan keadaan prekanker, yang bisa berubah menjadi kanker.

Saat ini telah digunakan istilah yang berbeda untuk perubahan abnormal pada sel-sel di permukaan serviks, salah satu diantaranya adalah lesi skuamosa intraepitel (lesi artinya kelainan jaringan, intraepitel artinya sel-sel yang abnormal hanya ditemukan di lapisan permukaan).

Perubahan pada sel-sel ini bisa dibagi ke dalam 2 kelompok:
  1. Lesi tingkat rendah : merupakan perubahan dini pada ukuran, bentuk dan jumlah sel yang membentuk permukaan serviks. Beberapa lesi tingkat rendah menghilang dengan sendirinya. Tetapi yang lainnya tumbuh menjadi lebih besar dan lebih abnormal, membentuk lesi tingkat tinggi.
    Lesi tingkat rendah juga disebut displasia ringan atau neoplasia intraepitel servikal 1 (NIS 1).
    Lesi tingkat rendah paling sering ditemukan pada wanita yang berusia 25-35 tahun, tetapi juga bisa terjadi pada semua kelompok umur.
  2. Lesi tingkat tinggi : ditemukan sejumlah besar sel prekanker yang tampak sangat berbeda dari sel yang normal.
    Perubahan prekanker ini hanya terjadi pada sel di permukaan serviks. Selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, sel-sel tersebut tidak akan menjadi ganas dan tidak akan menyusup ke lapisan serviks yang lebih dalam.
    Lesi tingkat tinggi juga disebut displasia menengah atau displasia berat, NIS 2 atau 3, atau karsinoma in situ.
    Lesi tingkat tinggi paling sering ditemukan pada wanita yang berusia 30-40 tahun.

Jika sel-sel abnormal menyebar lebih dalam ke dalam serviks atau ke jaringan maupun organ lainnya, mada keadaannya disebut kanker serviks atau kanker serviks invasif.
Kanker serviks paling sering ditemukan pada usia diatas 40 tahun.


Perubahan prekanker pada serviks biasanya tidak menimbulkan gejala dan perubahan ini tidak terdeteksi kecuali jika wanita tersebut menjalani pemeriksaan panggul dan Pap smear.

Gejala biasanya baru muncul ketika sel serviks yang abnormal berubah menjadi keganasan dan menyusup ke jaringan di sekitarnya. Pada saat ini akan timbul gejala berikut:
- Perdarahan vagina yang abnormal, terutama diantara 2 menstruasi, setelah melakukan hubungan seksual dan setelah menopause
- Menstruasi abnormal (lebih lama dan lebih banyak)
- Keputihan yang menetap, dengan cairan yang encer, berwarna pink, coklat, mengandung darah atau hitam serta berbau busuk.

Gejala dari kanker serviks stadium lanjut:
- Nafsu makan berkurang, penurunan berat badan, kelelahan
- Nyeri panggul, punggung atau tungkai
- Dari vagina keluar air kemih atau tinja
- Patah tulang (fraktur).

Kanker serviks


Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan berikut:
  1. Pap smear
    Pap smear dapat mendeteksi sampai 90% kasus kanker serviks secara akurat dan dengan biaya yang tidak terlalu mahal. Akibatnya angka kematian akibat kanker servikspun menurun sampai lebih dari 50%.
    Setiap wanita yang telah aktif secara seksual atau usianya telah mencapai 18 tahun, sebaiknya menjalani Pap smear secara teratur yaitu 1 kali/tahun. Jika selama 3 kali berturut-turut menunjukkan hasil yang normal, Pap smear bisa dilakukan 1 kali/2-3tahun.
    Hasil pemeriksaan Pap smear menunjukkan stadium dari kanker serviks:
    - Normal
    - Displasia ringan (perubahan dini yang belum bersifat ganas)
    - Displasia berat (perubahan lanjut yang belum bersifat ganas)
    - Karsinoma in situ (kanker yang terbatas pada lapisan serviks paling luar)
    - Kanker invasif (kanker telah menyebar ke lapisan serviks yang lebih dalam atau ke organ tubuh lainnya).

    Pap smear
    Pap smear
  2. Biopsi
    Biopsi dilakukan jika pada pemeriksaan panggul tampak suatu pertumbuhan atau luka pada serviks, atau jika Pap smear menunjukkan suatu abnormalitas atau kanker.
  3. Kolposkopi (pemeriksaan serviks dengan lensa pembesar)
  4. Tes Schiller
    Serviks diolesi dengan lauran yodium, sel yang sehat warnanya akan berubah menjadi coklat, sedangkan sel yang abnormal warnanya menjadi putih atau kuning.
Untuk membantu menentukan stadium kanker, dilakukan beberapa pemeriksan berikut:
- Sistoskopi
- Rontgen dada
- Urografi intravena
- Sigmoidoskopi
- Skening tulang dan hati
- Barium enema.


Pengobatan lesi prekanker

Pengobatan lesi prekanker pada serviks tergantung kepada beberapa faktor berikut:
- tingkatan lesi (apakah tingkat rendah atau tingkat tinggi)
- rencana penderita untuk hamil lagi
- usia dan keadaan umum penderita.

Lesi tingkat rendah biasanya tidak memerlukan pengobatan lebih lanjut, terutama jika daerah yang abnormal seluruhnya telah diangkat pada waktu pemeriksaan biopsi. Tetapi penderita harus menjalani pemeriksaan Pap smear dan pemeriksaan panggul secara rutin.

Pengobatan pada lesi prekanker bisa berupa:
·  Kriosurgeri (pembekuan)
·  Kauterisasi (pembakaran, juga disebut diatermi)
·  Pembedahan laser untuk menghancurkan sel-sel yang abnormal tanpa melukai jaringan yang sehat di sekitarnya
·  LEEP (loop electrosurgical excision procedure) atau konisasi.
Setelah menjalani pengobatan, penderita mungkin akan merasakan kram atau nyeri lainnya, perdarahan maupun keluarnya cairan encer dari vagina.

Pada beberapa kasus, mungkin perlu dilakukan histerektomi (pengangkatan rahim), terutama jika sel-sel abnormal ditemukan di dalam lubang serviks. Histerektomi dilakukan jika penderita tidak memiliki rencana untuk hamil lagi.


Pengobatan untuk kanker serviks

Pemilihan pengobatan untuk kanker serviks tergantung kepada lokasi dan ukuran tumor, stadium penyakit, usia, keadaan umum penderita dan rencana penderita untuk hamil lagi.
  1. Pembedahan

    Pada karsinoma in situ (kanker yang terbatas pada lapisan serviks paling luar), seluruh kanker seringkali dapat diangkat dengan bantuan pisau bedah ataupun melalui LEEP.
    Dengan pengobatan tersebut, penderita masih bisa memiliki anak.
    Karena kanker bisa kembali kambuh, dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan ulang dan Pap smear setiap 3 bulan selama 1 tahun pertama dan selanjutnya setiap 6 bulan.
    Jika penderita tidak memiliki rencana untuk hamil lagi, dianjurkan untuk menjalani histerektomi.

    Pada kanker invasif, dilakukan histerektomi dan pengangkatan struktur di sekitarnya (prosedur ini disebut histerektomi radikal) serta kelenjar getah bening.
    Pada wanita muda, ovarium (indung telur) yang normal dan masih berfungsi tidak diangkat.
  2. Terapi penyinaran

    Terapi penyinaran (radioterapi) efektif untuk mengobati kanker invasif yang masih terbatas pada daerah panggul.
    Pada radioterapi digunakan sinar berenergi tinggi untuk merusak sel-sel kanker dan menghentikan pertumbuhannya.
    Ada 2 macam radioterapi:
    - Radiasi eksternal : sinar berasar dari sebuah mesin besar
    Penderita tidak perlu dirawat di rumah sakit, penyinaran biasanya dilakukan sebanyak 5 hari/minggu selama 5-6 minggu.
    - Radiasi internal : zat radioaktif terdapat di dalam sebuah kapsul dimasukkan langsung ke dalam serviks.
    Kapsul ini dibiarkan selama 1-3 hari dan selama itu penderita dirawat di rumah sakit. Pengobatan ini bisa diulang beberapa kali selama 1-2 minggu.
    Efek samping dari terapi penyinaran adalah:
    - iritasi rektum dan vagina
    - kerusakan kandung kemih dan rektum
    - ovarium berhenti berfungsi.
  3. Kemoterapi

    Jika kanker telah menyebar ke luar panggul, kadang dianjurkan untuk menjalani kemoterapi. Pada kemoterapi digunakan obat-obatan untuk membunuh sel-sel kanker.
    Obat anti-kanker bisa diberikan melalui suntikan intravena atau melalui mulut.

    Kemoterapi diberikan dalam suatu siklus, artinya suatu periode pengobatan diselingi dengan periode pemulihan, lalu dilakukan pengobatan, diselingi denga pemulihan, begitu seterusnya.
  4. Terapi biologis

    Pada terapi biologis digunakan zat-zat untuk memperbaiki sistem kekebalan tubuh dalam melawan penyakit.
    Terapi biologis dilakukan pada kanker yang telah menyebar ke bagian tubuh lainnya.
    Yang paling sering digunakan adalah interferon, yang bisa dikombinasikan dengan kemoterapi.
Efek samping pengobatan

Selain membunuh sel-sel kanker, pengobatan juga menyebabkan kerusakan pada sel-sel yang sehat sehingga seringkali menimbulkan efek samping yang tidak menyenangkan.
Efek samping dari pengobatankanker sangat tergantung kepada jenis dan luasnya pengobatan. Selain itu, reaksi dari setiap penderita juga berbeda-beda.

Metoda untuk membuang atau menghancurkan sel-sel kanker pada permukaan serviks sama dengan metode yang digunakan untuk mengobati lesi prekanker.
Efek samping yang timbul berupa kram atau nyeri lainnya, perdarahan atau keluar cairan encer dari vagina.

Beberapa hari setelah menjalani histerektomi, penderita bisa mengalami nyeri di perut bagian bawah. Untuk mengatasinya bisa diberikan obat pereda nyeri.
Penderita juga mungkin akan mengalami kesulitan dalam berkemih dan buang air besar. Untuk membantu pembuangan air kemih bisa dipasang kateter.
Beberapa saat setealh pembedahan, aktivitas penderita harus dibatasi agar penyembuhan berjalan lancar. Aktivitas normal (termasuk hubungan seksual) biasanya bisa kembali dilakukan dalam waktu 4-8 minggu.

Setelah menjalani histerektomi, penderita tidak akan mengalami menstruasi lagi. Histerektomi biasanya tidak mempengaruhi gairah seksual dan kemampuan untuk melakukan hubungan seksual.
Tetapi banyak penderita yang mengalami gangguan emosional setelah histerektomi. Pandangan penderita terhadap seksualitasnya bisa berubah dan penderita merasakan kehilangan karena dia tidak dapat hamil lagi.

Selama menjalani radioterap, penderita mudah mengalami kelelahan yang luar biasa, terutama seminggu sesudahnya.
Istirahat yang cukup merupakan hal yang penting, tetapi dokter biasanya menganjurkan agar penderita sebisa mungkin tetap aktif.

Pada radiasi eksternal, sering terjadi kerontokan rambut di daerah yang disinari dan kulit menjadi merah, kering serta gatal-gatal. Mungkin kulit akan menjadi lebih gelap.
Daerah yang disinari sebaiknya mendapatkan udara yang cukup, tetapi harus terlindung dari sinar matahari dan penderita sebaiknya tidak menggunakan pakaian yang bisa mengiritasi daerah yang disinari.

Biasanya, selama menjalani radioterapi penderita tidak boleh melakukan hubungan seksual.
Kadang setelah radiasi internal, vagina menjadi lebh sempit dan kurang lentur, sehingga bisa menyebabkan nyeri ketika melakukan hubungan seksual. Untuk mengatasi hal ini, penderita diajari untuk menggunakan dilator dan pelumas dengan bahan dasar air.
Pada radioterapi juga bisa timbul diare dan sering berkemih.

Efek samping dari kemoterapi sangat tergantung kepada jenis dan dosis obat yang digunakan. Selain itu, efek sampingnya pada setiap penderita berlainan.
Biasanya obat anti-kanker akan mempengaruhi sel-sel yang membelah dengan cepat, termasuk sel darah (yang berfungsi melawan infeksi, membantu pembekuan darah atau mengangkut oksigen ke seluruh tubuh).
Jika sel darah terkena pengaruh obat anti-kanker, penderita akan lebih mudah mengalami infeksi, mudah memar dan mengalami perdarahan serta kekurangan tenaga.

Sel-sel pada akar rambut dan sel-sel yang melapisi saluran pencernaan juga membelah dengan cepat.
Jika sel-sel tersebut terpengaruh oleh kemoterapi, penderita akan mengalami kerontokan rambut, nafsu makannya berkurang, mual, muntah atau luka terbuka di mulut.

Terapi biologis bisa menyebabkan gejala yang menyerupai flu, yaitu menggigil, demam, nyeri otot, lemah, nafsu makan berkurang, mual, muntah dan diare.
Kadang timbul ruam, selain itu penderita juga bisa mudah memar dan mengalami perdarahan.


Ada 2 cara untuk mencegah kanker serviks:
  1. Mencegah terjadinya infeksi HPV
  2. Melakukan pemeriksaan Pap smear secara teratur .
Pap smear (tes Papanicolau) adalah suatu pemeriksaan mikroskopik terhadap sel-sel yang diperoleh dari apusan serviks.
Pada pemeriksaan Pap smear, contoh sel serviks diperoleh dengan bantuan sebuah spatula yang terbuat dari kayu atau plastik (yang dioleskan bagian luar serviks) dan sebuah sikat kecil (yang dimasukkan ke dalam saluran servikal).
Sel-sel serviks lalu dioleskan pada kaca obyek lalu diberi pengawet dan dikirimkan ke laboratorium untuk diperiksa.
24 jam sebelum menjalani Pap smear, sebaiknya tidak melakukan pencucian atau pembilasan vagina, tidak melakukan hubungan seksual, tidak berendam dan tidak menggunakan tampon.
Pap smear sangat efektif dalam mendeteksi perubahan prekanker pada serviks.
Jika hasil Pap smear menunjukkan displasia atau serviks tampak abnormal, biasanya dilakukan kolposkopi dan biopsi

Anjuran untuk melakukan Pap smear secara teratur:
·  Setiap tahun untuk wanita yang berusia diatas 35 tahun
·  Setiap tahun untuk wanita yang berganti-ganti pasangan seksual atau pernah menderita infeksi HPV atau kutil kelamin
·  Setiap tahun untuk wanita yang memakai pil KB
·  Setiap 2-3 tahun untuk wanita yang berusia diatas 35 tahun jika 3 kali Pap smear berturut-turut menunjukkan hasil negatif atau untuk wanita yang telah menjalani histerektomi bukan karena kanker
·  Sesering mungkin jika hasil Pap smear menunjukkan abnormal
·  Sesering mungkin setelah penilaian dan pengobatan prekanker maupun kanker serviks.

Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kanker serviks sebaiknya:
- Anak perempuan yang berusia dibawah 18 tahun tidak melakukan hubungan seksual.
- Jangan melakukan hubungan seksual dengan penderita kutil kelamin atau gunakan kondom untuk mencegah penularan kutil kelamin
- Jangan berganti-ganti pasangan seksual
- Berhenti merokok.

Pemeriksaan panggul setiap tahun (termasuk Pap smear) harus dimulai ketika seorang wanita mulai aktif melakukan hubungan seksual atau pada usia 20 tahun. Setiap hasil yang abnormal harus diikuti dengan pemeriksaan kolposkopi dan biopsi.

Beberapa peneliti telah membuktikan bahwa vitamin A berpertan dalam menghentikan atau mencegah perubahan keganasan pada sel-sel, seperti yang terjadi pada permukaan serviks.

vaginitis


Vaginitis
Vaginitis adalah diagnosis masalah ginekologis yang paling sering terjadi di pelayanan primer.  Pada sekitar 90% dari perempuan yang terkena, kondisi ini disebabkan oleh vaginosis bakterial, kandidiasis atau trikomoniasis vulvovaginal.  Vaginitis terjadi ketika flora vagina telah terganggu oleh adanya mikroorganisma patogen atau perubahan lingkunang vagina yang memungkinkan mikroorganisma patogen berkembang biak/berproliferasi.  Pemeriksaan untuk vaginitis meliputi penilaian risiko dan pemeriksaan fisik, dengan fokus perhatian pemeriksaan pada adanya dan karakteristik dari discharge vagina.  Pemeriksaan laboratorium diantaranya: metode sediaan basah garam fisiologis (Wet Mount) dan KOH, pemeriksaan PH discharge vagina dan "whiff" test. Pengobatan untuk vaginosis bacterial dan trikomoniasis adalah metronidazol, sementara untuk kandidiasis vaginal, pilihan pertama adalah obat anti jamur topikal (Am Fam Physician 2000;62:1095-104.)
Vaginitis adalah masalah ginekologis yang paling banyak dihadapi oleh dokter yang memberi pelayanan terhadap perempuan. Pembuatan diagnosis yang akurat bisa sangat sulit, yang menyebabkan upaya pengobatan juga kompleks.  Terlebih lai, adanya obat yang dijual bebas menaikkan kemungkinan pemberian pengobatan yang tidak sesuai untuk vaginitis.
Epidemiologi
Angka prevalensi dan penyebab vaginitis tidak diketahui pasti, sebagian besar karena kondisi-kondisi ini sering didiagnosis sendiri dan diobati sendiri oleh penderita.  Selain itu, vaginitis sering tidak menimbulkan gejala (asimptomatis) atau disebabkan oleh lebih dari satu organisme penyebab.  Kebanyakan ahli meyakini bahwa sampai sekitar 90% kasus vaginitis disebabkan oleh vaginosis bakterial, kandidiasis vulvovaginal dan trikomoniasis. Penyebab non-infeksi termasuk vaginal atrophy, alergi dan iritasi kimiawi.
Penyebab tersering vaginitis adalah  bakterial vaginosis, kandidiasis vulvovaginal, trikomoniasis, atropi vaginal, alergi dan iritasi kimiawi.
Vaginosis Bakterial
Di Amerika Serikat, bakterial vaginosis merupakan penyebab vaginitis yang terbanyak, mencapai sekitar 40 sampai 50% dari kasus pada perempuan usia reproduksi. Infeksi ini disebabkan oleh perkembangbiakan beberapa organisme, termasuk di antaranya Gardnerella vaginalis, Mobiluncus species, Mycoplasma hominis dan Peptostreptococcus species.
Menentukan angka prevalensi bakterial vaginosis adalah sulit karena sepertiga sampai dua pertiga kasus pada perempuan yang terkena tidak menunjukkan gejala (asimptomatik). Selain itu, angka prevalensi yang dilaporkan bervariasi menurut populasi. Bakterial vaginosis ditemukan pada 15-19% pasien-pasien  rawat inap bagian kandungan, 10-30% ibu hamil dan 24-40% pada klinik kelamin.
Walaupun angka prevalensi bakterial vaginosis lebih tinggi pada klinik-klinik kelamin dan pada perempuan yang memiliki pasangan seks lebih dari satu, peran dari penularan secara seksual masih belum jelas.  Berbagai penelitian membuktikan bahwa mengobati pasangan dari perempuan yang menderita bakterial vaginosis tidak memberi keuntungan apapun dan bahkan perempuan yang belum seksual aktif juga dapat terkena infeksi ini. Faktor risiko tambahan untuk terjadinya bakterial vaginosis termasuk pemakaian IUD, douching dan kehamilan.
Bukti-bukti menunjukkan bahwa bakterial vaginosis adalah faktor risiko untuk terjadinya ketuban pecah dini dan kelahiran prematur. Pengobatan unfeksi ini selama kehamilan menurunkan risiko tersebut. Akibat buruk lain termasuk di antaranya adalah peningkatan frekuensi hasil Papanicolaou (Pap) smears abnormal, penyakit radang panggul (PRP) dan endometritis. Selulitis vaginal, PRP dan endometritis dapat terjadi jika perempuan menjalani prosedur ginekologis yang infasif ketika sedang menderita bakterial vaginosis.
Kandidiasis Vulvovaginal
Kandidiasis vulvovaginal adalah penyebab vaginitis terbanyak kedua di Amerika Serikat dan yang terbanyak di Eropa. Sekitar 75% dari perempuan pernah mengalami kandidiasis vulvovaginal suatu waktu dalam hidupnya, dan sekitar 5% perempuan mengalami episode rekurensi. Agen penyebab yang tersering (80 sampai 90%) adalah Candida albicans. Saat ini, frekuensi dari spesies non-albicans (misalnya, Candida glabrata) meningkat, mungkin merupakan akibat dari peningkatan penggunaan produk-produk anti jamur yang dijual bebas.
Faktor risiko untuk terjadinya kandidiasis vulvovaginal sulit untuk ditentukan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa risiko untuk terinfeksi penyakit ini meningkat pada perempuan yang menggunakan kontrasepsi oral, diaphragma dan spermicide, atau IUD. Faktor risiko yang lain termasuk melakukan hubungan seksual pertama kali ketika umur masih muda, melakukan hubungan seks lebih dari empat kali per bulan dan oral seks. Risiko kandidiasis vulvovaginal juga meningkat pada perempuan dengan diabetes yang sedang hamil atau minum antibiotik.
Komplikasi kandidiasis vulvovaginal jarang terjadi.  Chorioamnionitis pada saat hamil dan syndrome vestibulitis vulva pernah dilaporkan.
Adalah sulit untuk memastikan spesies Candida sebagai penyebab vaginitis karena sekitar 50% perempuan yang tidak mengalami gejala apapun pada vaginanya ditemukan Candida sebagai bagian dari flora endogen vagina. Candida tidak ditularkan secara sexual, dan episode kandidiasis vulvovaginal tidak berhubungan dengan jumlah pasangan seksual yang dimiliki. Mengobati laki-laki pasangan seksual dari seorang perempuan yang menderita kandidiasis tidak perlu dilakukan, kecuali laki-laki tersebut tidak disunat atau ada peradangan pada ujung/glans penis.
Kandidiasis vulvovaginal rekuren/berulang didefinisikan sebagai terjadinya empat atau lebih episode kandidiasis vulvovaginal dalam periode satu tahun. Belum jelas apakah rekurensi ini terjadi karena berbagai faktor predisposisi atau presipitasi.
Trikomoniasis
Protozoa Trichomonas vaginalis, sebuah organisme yang motile dengan 4 flagella, adalah penyebab ke tiga terbanyak dari vaginitis. Penyakit ini mengenai 180 juta perempuan di seluruh dunia dan merupakan 10 sampai 25% dari infeksi vagina. Saat ini, angka insidensi vaginitis trichomonal terus meningkat di kebanyakan negara-negara industri.
Trichomonas vaginalis menular melalui hubungan seksual dan ditemukan pada 30 sampai 80 persen laki-laki pasangan seksual dari perempuan yang terinfeksi. Trikomoniasis berhubungan dan mungkin berperan sebagai vektor untuk penyakit kelamin lain. Berbagai penelitian membuktikan bahwa penyakit ini meningkatkan angka penularan HIV.
Faktir risiko untuk trikomoniasis termasuk penggunaan IUD, merokok dan pasangan seksual lebih dari satu. Sekitar 20%-50% dari perempuan dengan trichomoniasis tidak mengalami gejala apapaun. Trikomoniasis mungkin berhubungan dengan ketuban pecah dini dan kelahiran prematur. Pasangan seksual harus diobati dan diberi instruksi untuk tidak melakukan hubungan seksual sampai ke dua pihak sembuh.
Patofisiologi
Gambaran fisiologis discharge vagina normal terdiri dari sekresi vaginal, sel-sel exfoliated dan mukosa serviks. Frekunsi discharge vagina bervariasi berdasar umur, siklus menstruasi dan penggunaan kontrasepsi oral.
Lingkungan vagina normal digambarkan oleh adanya hubungan dinamis antara Lactobacillus acidophilus dan flora endogen lain, estrogen, glikogen, pH vagina dan produk metabolisme flora dan organisme patogen. L. acidophilus memproduksi hydrogen peroxide (H2O2), yang bersifat toksik terhadap organisme patogen dan menjaga pH vagina sehat antara 3.8 dan 4.2. Vaginitis muncul karena flora vagina diganggu oleh adanya organisme patogen atau lingkungan vagina berubah sehingga memungkinkan organisme patogen berkembang biak.
Antibiotik, kontrasepsi, hubungan seksual, douching, stress dan hormon dapat mengubah lingkungan vagina dan memungkinkan organisme patogen tumbuh. Pada vaginosis bakterial, dipercayai bahwa beberapa kejadian yang provokatif menurunkan jumlah hydrogen peroxide yang diproduksi L. acidophilus organisms. Hasil dari perubahan pH yang terjadi memungkinkan perkembangbiakan berbagai organisme yang biasanya ditekan pertumbuhannya seperti G. vaginalis, M. hominis dan Mobiluncus species. Organisme tersebut memproduksi berbagai produk metabolik seperti ‘amine’, yang akan meningkatkan pH vagina dan menyebabkan exfoliasi sel epitel vagina. Amine inilah yang menyebabkan adanya bau yang tidak enak pada infeksi vaginosis bakterial.
Dengan fisiologi yang sama, perubahan lingkungan vagina, seperti peningkatan produksi glikogen pada saat kehamilan dan tingkat progesterone karena kontrasepsi oral, memperkuat penempelan C. albicans ke sel epitel vagina dan memfasilitasi pertumbuhan jamur. Perubahan-perubahan ini dapat mentransformasi kondisi kolonisasi organisme yang asimptomatik menjadi infeksi yang simptomatik.  Pada pasien dengan trikomoniasis, perubahan tingkat estrogen dan progesterone, sebagaimana juga peningkatan pH vagina dan tingkat glikogen, dapat memperkuat pertumbuhan dan virulensi T. vaginalis.
Penulis: MARI E. EGAN, M.D., and MARTIN S. LIPSKY, M.D.  Northwestern University Medical School, Chicago, Illinois

herpes genitalis


Herpes Genitalis


Herpes Genitalis adalah suatu penyakit menular seksual di daerah kelamin, kulit di sekeliling rektum atau daerah di sekitarnya yang disebabkan oleh virus herpes simpleks.


Penyebabnya adalah virus herpes simpleks.
Ada 2 jenis virus herpes simpleks yaitu HSV-1 dan HSV-2.
HSV-2 biasanya ditularkan melalui hubungan seksual, sedangkan HSV-1 biasanya menginfeksi mulut. Kedua jenis virus herpes simpleks tersebut bisa menginfeksi kelamin, kulit di sekeliling rektum atau tangan (terutama bantalan kuku) dan bisa ditularkan ke bagian tubuh lainnya (misalnya permukaan mata).
Luka herpes biasanya tidak terinfeksi oleh bakteri, tetapi beberapa penderita juga memiliki organisme lainnya pada luka tersebut yang ditularkan secara seksual (misalnya sifilis atau cangkroid).


Gejala awalnya mulai timbul pada hari ke 4-7 setelah terinfeksi.
Gejala awal biasanya berupa gatal, kesemutann dan sakit. Lalu akan muncul bercak kemerahan yang kecil, yang diikuti oleh sekumpulan lepuhan kecil yang terasa nyeri. Lepuhan ini pecah dan bergabung membentuk luka yang melingkar. Luka yang terbentuk biasanya menimbulkan nyeri dan membentuk keropeng.

Penderita bisa mengalami kesulitan dalam berkemih dan ketika berjalan akan timbul nyeri.
Luka akan membaik dalam waktu 10 hari tetapi bisa meninggalkan jaringan parut.

Kelenjar getah bening selangkangan biasanya agak membesar.
Gejala awal ini sifatnya lebih nyeri, lebih lama dan lebih meluas dibandingkan gejala berikutnya dan mungkin disertai dengan demam dan tidak enak badan.

Pada pria, lepuhan dan luka bisa terbentuk di setiap bagian penis, termasuk kulit depan pada penis yang tidak disunat. Pada wanita, lepuhan dan luka bisa terbentuk di vulva dan leher rahim. Jika penderita melakukan hubungan seksual melalui anus, maka lepuhan dan luka bisa terbentuk di sekitar anus atau di dalam rektum.

Pada penderita gangguan sistem kekebalan (misalnya penderita infeksi HIV), luka herpes bisa sangat berat, menyebar ke bagian tubuh lainnya, menetap selama beberapa minggu atau lebih dan resisten terhadap pengobatan dengan asiklovir.

Gejala-gejalanya cenderung kambuh kembali di daerah yang sama atau di sekitarnya, karena virus menetap di saraf panggul terdekat dan kembali aktif untuk kembali menginfeksi kulit.
HSV-2 mengalami pengaktivan kembali di dalam saraf panggul. HSV-1 mengalami pengaktivan kembali di dalam saraf wajah dan menyebabkan fever blister atau herpes labialis. Tetapi kedua virus bisa menimbulkan penyakit di kedua daerah tersebut.
Infeksi awal oleh salah satu virus akan memberikan kekebalan parsial terhadap virus lainnya, sehingga gejala dari virus kedua tidak terlalu berat.


Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya.
Untuk memperkuat diagnosa, diambil apusan dari luka dan dibiakkan di laboratorium.

Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya antibodi terhadap virus.


Tidak ada pengobatan yang dapat menyembuhkan herpes genitalis, tetapi pengobatan bisa memperpendek lamanya serangan.
Jumlah serangan bisa dikurangi dengan terus menerus mengkonsumsi obat anti-virus dosis rendah. Pengobatan akan efektif jika dimulai sedini mungkin, biasanya 2 hari setelah timbulnya gejala.
Asiklovir atau obat anti-virus lainnya bisa diberikan dalam bentuk sediaan oral atau krim untuk dioleskan langsung ke luka herpes.
Obat ini mengurangi jumlah virus yang hidup di dalam luka sehingga mengurangi resiko penularan. Obat ini juga bisa meringankan gejala pada fase awal. Tetapi pengobatan dini pada serangan pertama tidak dapat mencegah kambuhnya penyakit ini.