HIV/AIDS
Definisi
AIDS
(acquired imunodeficiency syndrome) dapat diartikan sebagai kumplan gejala yang
disebabkan oleh menurunya kekebalan tubuh akibat infeksi virus HIV ( human
immudeficiency virus) yang termasuk famili retroviridae.
Etiologi
Disebabkan
oleh retrovirus RNA terutama HIV-1 tetapi juga bisa HIV-2 yang dominan
kejadiannya di Afrika Barat.
Transmisi
Penularan
HIV/AIDS terjadi akibat melalui cairan tubuh yang mengandung virus HIV yaitu
melalui hubungan sexual, baik homosexual atau heterosexual, jarum sunutik pada
pengguna narkotika, transfusi komponen darah dan dari ibu yang terinfeksi HIV
ke bayi yang dilahirkannya.
Pathoghenesis
Limfosit
CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena virus mempunyai afinitas
terhadap molekul permuklaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi mengoorrdinasikan
sejumlah fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan
gangguan respon imun yang progresif.
Gejala
1.
Window
period
Setelah infeksi
awal oleh HIV, pasoen munkgint etap seronegatif selama beberapa bulan. Namun
bersifat menular selama periode ini dan dapat memindahkan virus ke oranag lain.
Fase ini disebut “window period”. Manifestasi klinis pada orang yang terinfeksi
dapat timbul sedini 1-4 minggu setelah terpapar.
2.
Fase
infeksi akut
Terjadi pada tahap
seroknvesi dari status anti body negatif menjadi positif. Gejala mungkin berupa
malise, demam, diare, limpdenopati, dan ruam makulopapular. Beberapa orang
munkgin mengalami meningitis dan pnemonitits. Selama periode ini dapat
terdeteksi HIV dengan kadar tinggi di darah perifer. Kada limposit CD4+ turun
dan kemudian kembali ke kadar sedikit di bawah kadar semula untuk pasien yang
bersangkutan.
3.
Fase
asimtomatik
Merupakan suatu
periode latensi klinis, yang mungkin berlangsung beberapa tahun dengan sistem
imun yang utuh , namun replikasi HIV terus berlangsng, terutama di jarinagan
limpoid. Pada fase ini kadar limposit CD4+ meurun secara beratahap seiring
degngan waktu.
4.
Fase
simtomatik
Fase simtomatik dini pada infeksi HIV ditandai oleh
limfadenopato generalisata persisten (PGL), dengan gejala konstitusi yang
signifikan misalnya demam menetap, keringat malam, diare, penurunan berat badan
dan mencerminkan dimulainya dekompensasi sistem imun, peningkatan replikasi
virus, dan permulaan penyakit AIDS yang lengkap. Fase simtomatik lanju ditandai
dengan imunodefisiensi yang parah disertai penyulit-penyulit infeksi
oportunistik, berkebangnya infeksi HIV ke susunan saraf pusat dan timbulnya
penyakit neoplastik.
Pemerikasaan laboratorium
Terdapat
dua uji yang khas digunakan unutk mendeteksi antibody terhadap HIV. Yang
pertama, enzyme-linked imunosorbent assay (ELISA), bereaksi terhadap adanya
antibodi dalam serum dengan memperlihatkan warna yang lebih jelas apabila
terdeteksi antibody virus dalam jumlah besar. Bisa juga dilkukan uji western
blot sebagai uji konfirmasi. Selain itu juga ada test yang lainnya: biakan
virus, pengukuran antigen p24 dan pengukuran DNA dan RNA HIV yang menggunakan
reaksi berantai polimerase (PCR) dan RNA HIV-1 plasma.
Treatment
Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas
beberapa komponen, yakni: 1) pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV
dengan obat antiretroviral (ARV) yang diinisiasi sekitar tahun 1996 di berbagai
negara, (2) pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker
yang menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti infeksi jamur, tuberkulosis,
hepatitis, toksoplasma, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks, serta upaya
skrining untuk deteksi dini infeksi atau kanker tersebut, (3) pengobatan
suportif, yakni pemberian makanan yang mempunyai nilai gizi yang baik,
istirahat yang cukup, dan menjaga kebersihan diri, serta (4) terapi
psikososial, konseling, dukungan kerohanian dan sokongan keluarga. Dengan
pengobatan yang lengkap tersebut, angka kematian dapat ditekan, harapan hidup
lebih baik, dan kejadian infeksi oportunistik berkurang.
HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat
disembuhkan secara total. Namun, data selama 8 tahun terakhir menunjukkan bukti
yang amat meyakinkan bahwa pengobatan dengan kombinasi beberapa obat anti HIV (highly
active antiretroviral therapy, HAART) bermanfaat menurunkan morbiditas dan
mortalitas dini akibat infeksi HIV. Orang dengan HIV/AIDS (odha) menjadi lebih
sehat serta dapat bekerja normal dan produktif. Manfaat ARV dicapai melalui
perbaikan sistem kekebalan tubuh serta menurunnya kerentanan odha terhadap
infeksi oportunistik.
Strategi Penanganan dengan Obat Antiretroviral
Penanganan medis utama untuk infeksi HIV ialah
kombinasi obat antiretroviral. Supresi replikasi HIV merupakan komponen penting
dalam memperpanjang harapan hidup serta meningkatkan kualitas hidup odha.
Meskipun demikian, beberapa pertanyaan penting terkait penanganan HIV masih
belum memperoleh jawaban terbaik. Di antaranya ialah kapan pengobatan dengan
antiretroviral sebaiknya dimulai, apa regimen HAART yang paling baik, kapan
regimen tertentu harus diganti, dan obat apa dalam suatu regimen yang harus
diganti jika diperlukan perubahan.
Hingga saat ini, telah ditemukan berbagai golongan
obat antiretrovirus. Terdapat amat banyak interaksi antar obat yang perlu
diperhatikan ketika menggunakan obat-obatan ini. Salah satu masalah utama yang
didapati dengan penyebaran luas regimen HAART ialah sindrom hiperlipidemia dan
distribusi lemak yang dikenal dengan sindrom lipodistrofi. Berikut adalah
obat-obat ARV yang tersedia di Indonesia.
Terapi HIV/AIDS dilakukan dengan cara mengkombinasikan
beberapa obat untuk mengurangi viral load (jumlah virus dalam darah)
agar menjadi sangat rendah atau di bawah tingkat yang dapat terdeteksi untuk
jangka waktu yang lama. Data-data menunjukkan bahwa monoterapi untuk
antiretrovirus mengakibatkan terjadinya resistensi terhadap obat, hilangnya
efikasi dan kembalinya progresivitas penyakit sehingga amat dianjurkan terapi
kombinasi ARV.
Secara teoritis terapi kombinasi untuk HIV lebih baik
daripada monoterapi karena alasan-alasan berikut: (1) menghindari/menunda
resistensi obat, meluaskan cakupan terhadap virus dan memperlama efek, (2)
peningkatan efikasi karena adanya efek aditif atau sinergistik, (3) peningkatan
target reservoir jaringan/selular dari virus, (4) gangguan pada lebih dari satu
fase hidup virus, dan (5) penurunan toksisitas karena dosis yang digunakan
menjadi lebih rendah. Di Indonesia, regimen obat antivirus yang
dianjurkan adalah sebagai berikut.
Walaupun obat
antiretroviral telah menjadi kunci penatalaksanaan HIV/AIDS, masih ada beberapa
keterbatasan, yaitu:
- Antiretrovirus tidak mampu sepenuhnya memberantas virus. Terapi ini gagal mengendalikan viremia pada kurang lebih sepertiga pasien dalam berbagai uji klinis. Pasien harus melanjutkan terapi seumur hidup agar memperoleh manfaat yang optimal
- Jenis HIV yang resisten sering muncul, terutama jika kepatuhan pasien pada terapi tidak sempurna (<95%). Tingginya biaya untuk membeli obat ARV juga dapat menjadi hambatan pasien dalam mematuhi terapi
- Penularan HIV melalui perilaku yang berisiko dapat terus terjadi, meski viral load tak terdeteksi
- Efek samping jangka pendek akibat pengobatan sering terjadi, mulai dari anemia, neutropenia, mual, sakit kepala, hingga hepatitis akut. Efek samping jangka menengah baru mulai diketahui seperti resistensi insulin, asidosis laktat, hiperlipidemia dan lipodistrofi. Efek samping jangka panjang belum diketahui.
Saat ini, telah
terdapat lima golongan obat antiretroviral, yakni Nucleoside Reverse
Transcriptase Inhibitor (NRTI), Nucleotide Reverse Transcriptase
Inhibitor (NtRTI), Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor
(NNRTI), Protease Inhibitor (PI), dan Viral Entry Inhibitor.3
Dua pilihan untuk terapi inisial yang paling sering digunakan ialah dua macam
obat NRTI (biasanya salah satu ialah lamivudin) dikombinasikan dengan satu
macam obat PI atau dua macam obat NRTI dikombinasikan dengan satu macam obat
NNRTI.
Keputusan untuk
memulai terapi HIV harus mempertimbangkan risiko dan keuntungan mengingat HIV
merupakan infeksi kronis dan eradikasi infeksi HIV secara lengkap bisa jadi
tidak mungkin dengan regimen HAART yang ada sekarang.
Saat ini hal
yang rasional dilakukan adalah memulai terapi antiretroviral pada: (1)
seseorang dengan sindrom infeksi akut HIV, (2) pasien dengan stadium penyakit
simptomatik, (3) pasien yang masih dalam stadium asimptomatik dengan jumlah CD4+
<500/µl atau RNA HIV >20.000 kopi/ml. Kriteria nomor 3 masih menjadi
kontroversi; di negara-negara berkembang, sebagian besar pasien asimptomatik
baru memulai terapi setelah jumlah CD4+ <200/µl. Sebagai
tambahan, pemberian terapi selama 4 minggu kepada individu belum terinfeksi
yang baru mengalami risiko tinggi terpajan HIV dapat pula diterapkan.
No comments:
Post a Comment