Vaginitis
Vaginitis adalah
diagnosis masalah ginekologis yang paling sering terjadi di pelayanan
primer. Pada sekitar 90% dari perempuan yang terkena, kondisi ini
disebabkan oleh vaginosis bakterial, kandidiasis atau trikomoniasis
vulvovaginal. Vaginitis terjadi ketika flora vagina telah terganggu oleh
adanya mikroorganisma patogen atau perubahan lingkunang vagina yang
memungkinkan mikroorganisma patogen berkembang biak/berproliferasi.
Pemeriksaan untuk vaginitis meliputi penilaian risiko dan pemeriksaan fisik,
dengan fokus perhatian pemeriksaan pada adanya dan karakteristik dari discharge
vagina. Pemeriksaan laboratorium diantaranya: metode sediaan basah garam
fisiologis (Wet Mount) dan KOH, pemeriksaan PH discharge vagina dan
"whiff" test. Pengobatan untuk vaginosis bacterial dan trikomoniasis
adalah metronidazol, sementara untuk kandidiasis vaginal, pilihan pertama
adalah obat anti jamur topikal (Am Fam Physician 2000;62:1095-104.)
Vaginitis adalah
masalah ginekologis yang paling banyak dihadapi oleh dokter yang memberi
pelayanan terhadap perempuan. Pembuatan diagnosis yang akurat bisa sangat
sulit, yang menyebabkan upaya pengobatan juga kompleks. Terlebih lai,
adanya obat yang dijual bebas menaikkan kemungkinan pemberian pengobatan yang
tidak sesuai untuk vaginitis.
Epidemiologi
Angka prevalensi dan
penyebab vaginitis tidak diketahui pasti, sebagian besar karena kondisi-kondisi
ini sering didiagnosis sendiri dan diobati sendiri oleh penderita. Selain
itu, vaginitis sering tidak menimbulkan gejala (asimptomatis) atau disebabkan
oleh lebih dari satu organisme penyebab. Kebanyakan ahli meyakini bahwa
sampai sekitar 90% kasus vaginitis disebabkan oleh vaginosis bakterial,
kandidiasis vulvovaginal dan trikomoniasis. Penyebab non-infeksi termasuk vaginal
atrophy, alergi dan iritasi kimiawi.
Penyebab tersering vaginitis adalah
bakterial vaginosis, kandidiasis vulvovaginal, trikomoniasis, atropi vaginal,
alergi dan iritasi kimiawi.
|
Vaginosis Bakterial
Di Amerika Serikat,
bakterial vaginosis merupakan penyebab vaginitis yang terbanyak, mencapai
sekitar 40 sampai 50% dari kasus pada perempuan usia reproduksi. Infeksi ini
disebabkan oleh perkembangbiakan beberapa organisme, termasuk di antaranya Gardnerella
vaginalis, Mobiluncus species, Mycoplasma hominis dan Peptostreptococcus
species.
Menentukan angka
prevalensi bakterial vaginosis adalah sulit karena sepertiga sampai dua pertiga
kasus pada perempuan yang terkena tidak menunjukkan gejala (asimptomatik).
Selain itu, angka prevalensi yang dilaporkan bervariasi menurut populasi.
Bakterial vaginosis ditemukan pada 15-19% pasien-pasien rawat inap bagian
kandungan, 10-30% ibu hamil dan 24-40% pada klinik kelamin.
Walaupun angka
prevalensi bakterial vaginosis lebih tinggi pada klinik-klinik kelamin dan pada
perempuan yang memiliki pasangan seks lebih dari satu, peran dari penularan
secara seksual masih belum jelas. Berbagai penelitian membuktikan bahwa
mengobati pasangan dari perempuan yang menderita bakterial vaginosis tidak
memberi keuntungan apapun dan bahkan perempuan yang belum seksual aktif juga
dapat terkena infeksi ini. Faktor risiko tambahan untuk terjadinya bakterial
vaginosis termasuk pemakaian IUD, douching dan kehamilan.
Bukti-bukti
menunjukkan bahwa bakterial vaginosis adalah faktor risiko untuk terjadinya
ketuban pecah dini dan kelahiran prematur. Pengobatan unfeksi ini selama
kehamilan menurunkan risiko tersebut. Akibat buruk lain termasuk di antaranya
adalah peningkatan frekuensi hasil Papanicolaou (Pap) smears abnormal, penyakit
radang panggul (PRP) dan endometritis. Selulitis vaginal, PRP dan endometritis
dapat terjadi jika perempuan menjalani prosedur ginekologis yang infasif ketika
sedang menderita bakterial vaginosis.
Kandidiasis
Vulvovaginal
Kandidiasis
vulvovaginal adalah penyebab vaginitis terbanyak kedua di Amerika Serikat dan
yang terbanyak di Eropa. Sekitar 75% dari perempuan pernah mengalami
kandidiasis vulvovaginal suatu waktu dalam hidupnya, dan sekitar 5% perempuan
mengalami episode rekurensi. Agen penyebab yang tersering (80 sampai
90%) adalah Candida albicans. Saat ini, frekuensi dari spesies
non-albicans (misalnya, Candida glabrata) meningkat, mungkin merupakan
akibat dari peningkatan penggunaan produk-produk anti jamur yang dijual bebas.
Faktor risiko untuk
terjadinya kandidiasis vulvovaginal sulit untuk ditentukan. Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa risiko untuk terinfeksi penyakit ini meningkat pada perempuan
yang menggunakan kontrasepsi oral, diaphragma dan spermicide, atau IUD. Faktor
risiko yang lain termasuk melakukan hubungan seksual pertama kali ketika umur
masih muda, melakukan hubungan seks lebih dari empat kali per bulan dan oral
seks. Risiko kandidiasis vulvovaginal juga meningkat pada perempuan dengan
diabetes yang sedang hamil atau minum antibiotik.
Komplikasi
kandidiasis vulvovaginal jarang terjadi. Chorioamnionitis pada saat hamil
dan syndrome vestibulitis vulva pernah dilaporkan.
Adalah sulit untuk
memastikan spesies Candida sebagai penyebab vaginitis karena sekitar 50%
perempuan yang tidak mengalami gejala apapun pada vaginanya ditemukan Candida
sebagai bagian dari flora endogen vagina. Candida tidak ditularkan secara
sexual, dan episode kandidiasis vulvovaginal tidak berhubungan dengan jumlah
pasangan seksual yang dimiliki. Mengobati laki-laki pasangan seksual dari seorang
perempuan yang menderita kandidiasis tidak perlu dilakukan, kecuali laki-laki
tersebut tidak disunat atau ada peradangan pada ujung/glans penis.
Kandidiasis
vulvovaginal rekuren/berulang didefinisikan sebagai terjadinya empat atau lebih
episode kandidiasis vulvovaginal dalam periode satu tahun. Belum jelas apakah
rekurensi ini terjadi karena berbagai faktor predisposisi atau presipitasi.
Trikomoniasis
Protozoa Trichomonas
vaginalis, sebuah organisme yang motile dengan 4 flagella, adalah penyebab
ke tiga terbanyak dari vaginitis. Penyakit ini mengenai 180 juta perempuan di
seluruh dunia dan merupakan 10 sampai 25% dari infeksi vagina. Saat ini, angka
insidensi vaginitis trichomonal terus meningkat di kebanyakan negara-negara
industri.
Trichomonas vaginalis menular melalui
hubungan seksual dan ditemukan pada 30 sampai 80 persen laki-laki pasangan
seksual dari perempuan yang terinfeksi. Trikomoniasis berhubungan dan mungkin
berperan sebagai vektor untuk penyakit kelamin lain. Berbagai penelitian
membuktikan bahwa penyakit ini meningkatkan angka penularan HIV.
Faktir risiko untuk
trikomoniasis termasuk penggunaan IUD, merokok dan pasangan seksual lebih dari
satu. Sekitar 20%-50% dari perempuan dengan trichomoniasis tidak mengalami
gejala apapaun. Trikomoniasis mungkin berhubungan dengan ketuban pecah dini dan
kelahiran prematur. Pasangan seksual harus diobati dan diberi instruksi untuk
tidak melakukan hubungan seksual sampai ke dua pihak sembuh.
Patofisiologi
Gambaran fisiologis
discharge vagina normal terdiri dari sekresi vaginal, sel-sel exfoliated dan
mukosa serviks. Frekunsi discharge vagina bervariasi berdasar umur, siklus
menstruasi dan penggunaan kontrasepsi oral.
Lingkungan vagina
normal digambarkan oleh adanya hubungan dinamis antara Lactobacillus acidophilus
dan flora endogen lain, estrogen, glikogen, pH vagina dan produk metabolisme
flora dan organisme patogen. L. acidophilus memproduksi hydrogen
peroxide (H2O2), yang bersifat toksik terhadap organisme patogen dan menjaga pH
vagina sehat antara 3.8 dan 4.2. Vaginitis muncul karena flora vagina diganggu
oleh adanya organisme patogen atau lingkungan vagina berubah sehingga
memungkinkan organisme patogen berkembang biak.
Antibiotik,
kontrasepsi, hubungan seksual, douching, stress dan hormon dapat mengubah
lingkungan vagina dan memungkinkan organisme patogen tumbuh. Pada vaginosis
bakterial, dipercayai bahwa beberapa kejadian yang provokatif menurunkan jumlah
hydrogen peroxide yang diproduksi L. acidophilus organisms. Hasil dari
perubahan pH yang terjadi memungkinkan perkembangbiakan berbagai organisme yang
biasanya ditekan pertumbuhannya seperti G. vaginalis, M. hominis dan
Mobiluncus species. Organisme tersebut memproduksi berbagai produk metabolik
seperti ‘amine’, yang akan meningkatkan pH vagina dan menyebabkan exfoliasi sel
epitel vagina. Amine inilah yang menyebabkan adanya bau yang tidak enak pada
infeksi vaginosis bakterial.
Dengan fisiologi yang
sama, perubahan lingkungan vagina, seperti peningkatan produksi glikogen pada
saat kehamilan dan tingkat progesterone karena kontrasepsi oral, memperkuat
penempelan C. albicans ke sel epitel vagina dan memfasilitasi
pertumbuhan jamur. Perubahan-perubahan ini dapat mentransformasi kondisi
kolonisasi organisme yang asimptomatik menjadi infeksi yang simptomatik.
Pada pasien dengan trikomoniasis, perubahan tingkat estrogen dan progesterone,
sebagaimana juga peningkatan pH vagina dan tingkat glikogen, dapat memperkuat
pertumbuhan dan virulensi T. vaginalis.
Penulis: MARI E.
EGAN, M.D., and MARTIN S. LIPSKY, M.D. Northwestern University Medical
School, Chicago, Illinois
No comments:
Post a Comment